Selasa, 11 Maret 2008

The Chronicle of Flarion (36-40) by Junaidi Halim

Bab 36. Pelunasan Hutang Darah Gnorr

Gnorr terbangun dalam keadaan terikat. Kepalanya masih terasa berputar – putar karena pusing. Samar – samar Gnorr teringat akan pertarungan hidup dan mati dengan Flarion, namun ia tidak mengingat bagaimana akhir dari pertarungan tersebut. Apa yang terjadi? Gnorr juga tidak tahu mengapa ia bisa terikat dengan rantai seperti ini? Ia bahkan tidak tahu sedang berada di mana. Tak lama kemudian pintu di hadapannya terbuka dan Hawkins masuk ke dalamnya. Gnorr menyadari bahwa ia ternyata telah menjadi tawanan musuh dan dalam bahaya besar karena Hawkins menghunus tombaknya dengan mata penuh dengan dendam.
‘Matilah kau pembunuh!’ Teriak Hawkins sambil mengarahkan tombaknya ke leher Gnorr yang tidak dapat bergerak. Namun tombak itu berhenti hanya beberapa centimeter tepat di depan leher Gnorr. Keringat mulai mengalir, membasahi wajah Gnorr, menyaksikan Hawkins yang sedang bergulat dengan hatinya untuk membuat keputusan mengakhiri nyawa Gnorr atau tidak. Pergulatan antara dendam dengan keengganan untuk membunuh lawan yang tidak berdaya.
‘Membunuh itu tidak mudah bukan?’ Tanya Gnorr kepada Hawkins tiba – tiba,’ Ada suatu tekanan yang luar biasa ketika kita mengayunkan senjata dan mengambil sebuah kehidupan begitu saja walau itu untuk sebuah pembalasan dendam.’ Hawkins terkejut mendengar kata – kata Gnorr. ‘Kita semua adalah pembunuh,’ Gnorr melanjutkan kata – katanya,’ Hanya saja kita berada di pihak yang berbeda. Kau membunuh Pasukan Kegelapan sedangkan aku membunuh siapa saja yang menghalangi Pasukan Kegelapan namun tetap saja kita semua pembunuh. Membunuh untuk sebuah tujuan yang hanya dimengerti masing – masing orang.’
‘Termasuk membunuh untuk membalas budi?’ Tanya Flaron yang tiba – tiba sudah berada di belakang Hawkins,’ Tidak Gnorr, kita semua tidak sama. Ada perbedaan yang jelas antara kita. Antara kau dan aku.’ Flarion mendekati Gnorr. Tubuh Flarion penuh dengan balutan namun lukanya sudah hampir sembuh. Nampaknya Flivia telah bekerja keras merawat Flarion.
‘Tidak! Tidak, Flarion! Kita tidak berbeda! Kau dan aku adalah alat pembunuh! Bedanya aku adalah alat Garanox sementara kau adalah alat Bangsa Peri, namun kita tetaplah pembunuh!’ Gnorr berusaha menjelaskan kepada Flarion.
Flarion mulai berkata,‘ Seorang manusia bernama Jeff pernah merelakan istrinya dibunuh dan rumahnya dihancurkan agar ia dapat terus melindungi istana Raja Allastar dari serangan musuh. Namun apakah ini berarti ia lebih mencintai raja daripada keluarganya sendiri? Tidak! Ia bahkan jauh lebih mencintai istrinya daripada dirinya sendiri. Lalu mengapa ia melakukan itu? Jawabannya hanya satu: Untuk kebenaran! Bertempur untuk kebenaran agar Pasukan Kegelapan tidak menang dan berhasil menghapus kebenaran dari dunia ini! Untuk itulah aku bertempur, Gnorr. Aku bertempur bukan untuk kepentingan diriku sendiri, bukan untuk orang yang aku kasihi, bukan untuk Bangsaku, bahkan bukan kehidupanku di dunia ini. Aku bertempur untuk sebuah harapan akan dunia yang penuh kedamaian dan kebenaran yang berkuasa. Untuk itu aku akan terus bertempur, mencegah kebangkitan The Lord of Darkness dan Pasukan Kegelapannya menguasai dunia ini. Itulah perbedaan kita, Gnorr. Kau bertarung untuk dirimu sendiri, untuk membalas budi Garanox terhadap dirimu. Sedangkan aku bertarung untuk sebuah zaman baru yang penuh kebenaran dan cinta kasih, tak peduli walaupun aku sendiri harus mati dalam perjuangan berusaha mewujudkannya.’
Gnorr lama terdiam. Lama – kelamaan air mata menetes di pipinya. ‘Egois. Aku pikir selama ini aku benar karena mengabdi kepada Garanox untuk membalas budi, untuk sebuah kesetiaan. Tapi kau benar, Flarion. Pikiranku begitu dangkal dan hanya mementingkan diriku sendiri. Sungguh sebuah tujuan yang egois dan kesetiaan yang buta,’ Gnorr bertanya,’ Katakan padaku, Flarion. Bagaimana kau dapat mewarisi cita – cita yang mulai tersebut?’
‘Harapan, Gnorr. Harapan dan cinta kasih. Yang Maha Kuasa telah menanamkan itu ketika aku bertempur bersama seseorang yang bisa kehilangan segalanya namun tidak kehilangan keyakinannya. Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu sebelumnya, ada seseorang bernama Jeff yang mengajariku semua hal ini?’
‘Kurasa sudah waktunya,’ jawab Gnorr lirih,’ Aku telah terlanjur berhutang kepada Garanox dan aku harus membayarnya. Bunuhlah aku, Flarion! Aku bangga dapat mati di tangan Ksatria sepertimu. Ini sebuah kehormatan besar.’
Flarion menghunus pedangnya,’ Selamat tinggal, Gnorr The Ice Serpent Master. Kau pejuang yang hebat! Namun sudah saatnya tiba kau harus mati menebus semua hutang darahmu!’ Flarion mengayunkan pedangnya.

Bab 37. Peri yang Terus Bertahan

Setelah Gnorr lenyap bersama dengan mangsanya, Flarion, Val’ark ganti memimpin Pasukan Goblin dan Vampir untuk menyerang Benteng WhiteStone. Mereka telah kehilangan Ketapel raksasa untuk meruntuhkan Pintu Gerbang karena Rajawali telah melakukan serangan mendadak dan menghancurkan semua ketapel yang ada. Namun Pasukan Kegelapan masih memiliki alat pendobrak yang besar dan terbuat dari baja, ujungnya dilapisi dengan Intan Hitam yang runcing. Pasukan Kegelapan terus maju dan mendekati Benteng. Para Peri tidak tinggal diam. Panah dan tombak terus meluncur dari atas benteng. Elrica, Fleric dan Merry terus bekerja mengatur serangan namun Pasukan Kegelapan yang berjumlah besar tersebut tidak terbendung lagi. Mereka balas memanah Para Peri dan mulai mendobrak Pintu Gerbang. Dentuman demi dentuman terdengar hingga ke dalam istana di mana Flivia masih terus sibuk merawat yang sakit. Entah sampai kapan Pintu Gerbang WhiteStone dapat menahan serangan Pasukan Kegelapan.
Pertarungan saling memanah pun terjadi di depan gerbang WhiteStone antara Bangsa Peri dengan Bangsa Goblin. Bangsa Peri berusaha mencegah bangsa Goblin mendobrak masuk dengan memanahi pembawa alat pendobrak yang terbuat dari Intan hitam dan baja tersebut. Namun setiap kali ada goblin yang jatuh akan segera digantikan yang lain sementara ribuan goblin di belakangnya terus meluncurkan anak panah ke atas benteng. Situasi semakin kacau bagi Bangsa Peri setelah Bangsa vampir tiba di bawah benteng. Bangsa ini tidak memerlukan tangga ataupun pintu untuk masuk. Tubuh mereka sangat ringan dan sayap kelalawar yang secara alami terdapat di tubuh mereka memungkinkan bangsa terkutuk ini untuk terbang dan memanjat sisi Benteng WhiteStone. Kini Bangsa Peri segera berganti fokus untuk memanah Bangsa Vampir yang mulai naik ke atas Benteng. Tak lama kemudian Bangsa Peri dipaksa untuk menanggalkan senjata busur dan panahnya berganti dengan pedang dan tombak karena pertarungan jarak jauh telah usai. Kini saatnya pertarungan jarak dekat antara Bangsa Peri dan Vampir, sementara Bangsa Goblin terus berusaha mendobrak Pintu Gerbang WhiteStone yang mulai retak.
Val’ark melompat tinggi dan hinggap di atap benteng. Ia mengeluarkan sepasang Pedang bengkok dan mulai membantai Bangsa Peri. Fleric dan Elrica segera maju menghadapi Vampir yang ganas tersebut. ‘Shadow Moon Strike!’ Seru Elrica dan tiba – tiba saja bayangan Elrica muncul di mana – mana. Val’ark tidak terkejut dan ia pun mengembangkan sayap kelalawarnya dan mengucap mantera,’ The Dark Terror!’ Tiba – tiba saja dari Val’ark berubah bentuk menjadi puluhan kelalawar yang berterbangan. Kelalawar itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bayangan Elrica dan langsung menyerang Elrica yang sebenarnya. Mereka tidak dapat dikelabui oleh bayangan.
‘Frost explosion!’ Seru Fleric yang dengan segera membantu Elrica yang terdesak dikerumuni oleh puluhan kelalawar yang mulai menghisap darahnya. Serangan Fleric menciptakan ledakan es dan berhasil membekukan kelalawar tersebut namun sungguh ajaib, mereka semua lenyap dan muncul kembali dari setiap bayangan hitam yang ada di sekitar mereka. Jumlahnya bahkan menjadi bertambah banyak. Kini baik Elrica maupun Fleric terdesak hebat oleh jurus andalan Val’ark. Setiap bayangan baik bayangan gedung, bayangan setiap prajurit Peri maupun Vampir bahkan bayangan Elrica dan Fleric sendiri mengeluarkan kelelawar penghisap darah yang tidak ada habis – habisnya. Setiap kali Elrica menebaskan pedangnya untuk membunuh seekor kelalawar maka hasilnya kelalawar tersebut akan membelah diri dan menjadi 2 ekor.
Elrica maupun Fleric berusaha terus bertahan namun mereka tidak dapat bertahan menghadapi jurus Val’ark. Merry yang berusaha membantu juga tidak dapat berbuat banyak. Kelalawar yang kini berjumlah ratusan itu tidak dapat dibunuh oleh anak panah dan juga menghalangi pandangan Merry untuk memanah Pasukan Vampir yang berada di atas Benteng WhiteStone. Kelalawar ciptaan Val’ark juga mulai menyerang para prajurit peri yang kewalahan menghadapi Pasukan Vampir.
‘Bertahan sampai akhir pasukanku!’ Seru Fleric memberi semangat,’ Jika kita harus mati maka kita akan memberikan perlawanan hingga tetes darah terakhir.’ Seruan Fleric mengobarkan kembali semangat Pasukan Peri untuk terus bertahan dan mereka berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah. Para Peri terus bertahan.

Bab 38. Jatuhnya Sang Raja

Flarion maju ke depan. Jubahnya yang bercahaya menyilaukan pandangan Pasukan Vampir maupun kelalawar yang mengepung Fleric dan Elrica. Flarion segera membawa mereka berdua mundur ke belakang sementara Lyrian yang luka – lukanya telah selesai dibalut mengucapkan mantera ‘root cast’ dan keluarlah akar – akar dari lantai atas dan membelit Pasukan Vampir. Hal ini dimanfaatkan oleh Prajurit Peri yang terluka untuk mengambil langkah mundur dan digantikan oleh Prajurit Peri yang baru.
‘Astaga, Flarion! Kemana saja kau? Masa kau begitu tega membiarkan kami bertempur di sini sementara kau asyik dirawat oleh gadis cantik di sana?’ Tanya Fleric sambil mengedipkan matanya dengan senyum nakal.
‘Maaf, sobat. Aku ada urusan sedikit di dalam. Sekarang biar aku yang maju menghadapi Vampir – vampir keparat itu. Flivia sedang menuju kemari. Ia akan merawat kau dan Elrica,’ Jawab Flarion sambil tersenyum. Maka tanpa membuang waktu lagi Flarion segera maju ke medan tempur di atas Benteng WhiteStone. Sementara Lyrian dan Merry memperkuat pertahanan di Pintu Gerbang yang mulai runtuh akibat benturan dari Pendobrak Bangsa Goblin.
Kelalawar – kelalawar Val’ark segera menyerang dan mengerumuni Flarion. Jubah Tempur Flarion, The Faith Armor melindungi Flarion dari serangan fisik namun walau gimana pun ratusan kelalawar membuat Flarion tidak dapat banyak bergerak. Perlahan – lahan pertahanan Flarion melemah dan satu sampai dua gigitan berhasil menembus jubah tempurnya. Tinju cahaya maupun semburan Api Phoenix tidak mempan melawan kelalawar yang jumlahnya semakin banyak setiap kali dimusnahkan. Satu – satunya yang dapat menghentikan serangan kelalawar itu hanyalah ledakan cahaya dari Faith Armor yang menyilaukan. Setiap ledakan itu terjadi kelalawar itu terdiam di tempat seakan – akan kehilangan arah mangsa. Saat itulah Flarion menyadari sesuatu.
Flarion meninju salah satu kelalawar hingga tewas dan tiba – tiba dari sebuah bayangan di balik pintu muncul 2 ekor kelalawar yang baru. ‘Iron Fist!’ Seru Flarion sambil mengarahkan tinju cahayanya ke arah bayangan di balik pintu dan tiba- tiba saja bayangan itu meledak dan keluarlah Val’ark sambil memuntahkan darah dari mulutnya. Seketika itu juga ratusan Kelalawar di udara lenyap tanpa bekas. Flarion tersenyum dan berkata,’ Dasar pengecut busuk! Bersembunyi di balik bayangan dan mengendalikan kelalawar untuk membunuh bagimu. Awalnya aku pikir kau sendiri yang berubah wujud menjadi ratusan kelalawar ternyata kau hanya bersembunyi di balik bayangan sambil terus melakukan summoning memanggil kelalawar. Tipuan licik! Kau tidak pantas disebut Blood Hunter!’
Val’ark tersenyum jahat dan menjawab,’ Bukan karena dapat memanggil ratusan kelalawar aku disebut sebagai Bloodhunter tetapi karena ini...!’ Val’ark segera melompat dan menyerang ke arah Flarion. Dengan sigap Flarion segera memasang posisi berlindung. Tetapi di luar dugaan, Val’ark tidak menyerang Flarion namun melewatinya dan menyerang ke arah Elrica dan Flivia yang sedang merawatnya. Val’ark dengan gerakan secepat kilat menyambar Flivia dan Elrica, masing – masing di kedua belah tangannya dan membawanya ke atap menara. Flarion terpana melihat aksi serangan Val’ark yang luar biasa cepat itu.
Elrica yang berada dalam keadaan tercekik oleh cakar Val’ark tidak tinggal diam. Ia segera menghunus pedangnya dan menusuk jantung Val’ark. Val’ark menjerit kesakitan dengan hebat dan ia segera menghujamkan taring vampirnya ke leher Elrica. Elrica menjerit kesakitan dan tubuhnya mulai melemah. Val’ark menghisap darah Elrica dan pada saat bersamaan luka – luka di tubuh Val’ark sembuh dengan cepat sementara Elrica semakin lemas kehilangan darah. Flarion tidak dapat menyerang dengan mudah karena selain posisi Val’ark yang jauh berada di atas atap menara. Val’ark juga menyandera Elrica dan Flivia sehingga serangan yang meleset dapat melukai kedua sahabatnya itu.
Tiba – tiba Elrica menggunakan kekuatannya yang tersisa dan kembali menghunus pedang rembulannya. Elrica menebaskan pedangnya ke tangan Val’ark yang sedang mencekik Flivia. Tubuh Val’ark kembali mengejang kesakitan dan tangannya putus. Flivia pun jatuh ke bawah namun Flarion dengan sigap melompat ke atas dan menangkap tubuhnya. Val’ark yang semakin marah dengan tindakan Elrica menjadi sangat ganas. Ia menghisap darah Elrica tanpa ampun dan tangannya yang putus mulai kembali tumbuh bahkan jantungnya yang tertusuk pedang rembulan hampir sembuh seperti semula.
‘Aku tidak akan membiarkan tubuhku dimanfaatkan oleh iblis sepertimu!’ bisik Elrica kepada Val’ark dan ia kembali menghunus pedangnya. Flarion telah tiba di atap menara dan dengan matanya sendiri ia melihat Elrica mengayunkan Pedang Rembulannya untuk yang terakhir kalinya. Pedang Rembulan diayunkan ke jantungnya sendiri dan saat itu juga darah yang tersisa di tubuh Elrica menyembur keluar dan tak terminum oleh Val’ark.
‘Tidak!’ Seru Flarion histeris melihat Sang Raja Peri Hutan, Elrica tumbang oleh pedangnya sendiri. Inilah akhir dari Elrica, Sang Raja yang terhormat dari Bangsa peri.
‘Kurang ajar!’ Val’ark pun tidak menyangka ada korbannya yang memilih mati daripada harus dihisap darahnya. Luka di jantung Val’ark belum pulih total dan tangannya masih belum lengkap tumbuh kembali. Ia melihat ke depan dan Flarion berdiri dengan tatapan mata kemarahan yang tak terbendung. Tangan Falrion mengepal erat dan otot – ototnya mengeras luar biasa. Api sang Poenix mengeluarkan aura dashyat yang membuat lutut Val’ark the Bloodhunter gemetar dengan hebatnya. ‘Oh, Tidak!’ Itulah seruan Val’ark terakhir yang terdengar dari atap menara sebelum Flarion mengarahkan tinjunya yang penuh dengan api maha dashyat dan ledakan hebat pun terjadi di atap menara WhiteStone.
Pasukan Vampir yang sedang bertarung di atas Benteng WhiteStone menjadi terpana sesaat dan melihat ke atas menara. Dari kepulan debu dan asap, Flarion keluar sambil menggendong Elrica yang telah gugur dan di pinggangnya terikat kepala Val’ark yang menjijikan. Pasukan Vampir gemetar melihat hal itu, Flarion dengan kesedihan dan kemarahannya yang bercampur maupun pemimpin Vampir yang telah tewas dengan mengerikan.

Bab 39. Manusia yang Dilahirkan Kembali

Dentingan besi beradu terdengar di bengkel Kota WhiteStone. Dentingan itu terdengar berulangkali tanpa mempedulikan teriakan dan perang yang terjadi di Benteng kota. Peluh mengalir dari sekujur tubuh manusia ini. Tubuhnya yang besar dan kuat terus mengayunkan palu berat untuk membuat sebuah senjata. Setelah beberapa waktu, ia menghentikan pekerjaan nya dan melihat senjata yang baru saja diselesaikannya. Ia tersenyum puas dan mengangkat kapak besarnya dengan bangga. Ia bergegas memakai baju tempur dan menuju ke arah medan pertempuran. Bisiknya kepada dirinya sendiri,’ Tunggulah Flarion, Gnorr telah kembali. Akan kubalas semua perlakuanmu kepadaku!’
Flarion dan Fleric memusatkan pertahanan di atas Benteng WhiteStone sementara Merry, Hawkins dan Lyrian berusaha mati – matian mempertahankan pintu gerbang yang sudah setengah terbuka akibat pendobrak Bangsa Goblin. Beberapa prajurit – prajurit Goblin yang buas telah berhasil menembus pertahanan pintu gerbang dan mendesak masuk. Lyrian dan Merry mati – matian menggunakan serangan jarak jauh berupa sihir maupun panah untuk menghentikan mereka sementara Hawkins berusaha membantu menambal bagian pintu gerbang yang rusak. Namun Pasukan Goblin menyerbu bagai air bah yang tidak dapat dibendung lagi. Pintu Gerbang Peri hanya tinggal menunggu waktu untuk jatuh.
Sementara itu serangan di atas benteng sudah tidak segencar sebelumnya. Bangsa Vampir yang mulai kehilangan semangat tempur akibat kehilangan pemimpin memudahkan Flarion dan Fleric untuk mencegah mereka masuk lebih dalam. Namun hal ini cukup membuat mereka berdua sibuk dan tidak bisa memberi bantuan tambahan untuk mempertahankan pintu gerbang kota WhiteStone. Jika pertahanan di atas benteng berhasil ditembus maka usaha mempertahankan kota akan menjadi semakin sulit. Booomm! Suara benda berat terjatuh terdengar dengan keras dan lantai Benteng WhiteStone bergetar. Flarion memandang Fleric sesaat dengan tatapan mata penuh kekuatiran. Mereka berdua tahu bahwa pintu gerbang telah jatuh. Teriakan gembira Bangsa Goblin terdengar keras.
Merry melontarkan anak panahnya terus menerus. Pasukan Goblin menyerbu masuk dengan cepat. Tak seorang peri pun yang mampu menahan mereka semua. Goblin hitam masuk dengan cepat sambil terus menerus meluncurkan anak panahnya yang beracun. Ia melihat Lyrian yang sedang lengah. Tanpa membuang waktu, Sang Goblin hitam segera meluncurkan anak panahnya yang secepat kilat. ‘Awas!’ Seru Hawkins dan ia pun segera menjatuhkan dirinya ke arah Lyrian. Panah beracun itu tertancap di punggung Hawkins. Hawkins yang belum pulih benar dari luka sebelumnya tak bisa menahan serangan ini untuk yang kedua kalinya. Ia pun seegra roboh dan tak sadarkan diri. Lyrian segera menarik Hawkin menjauh dari arena pertempuran.
Lyrian bermaksud mencari Flivia, The Healer untuk menyembuhkan Hawkins tetapi tiba – tiba di hadapannya telah berdiri seorang manusia yang besar dengan membawa kapak bajanya. Ia menghadang di depan Lyrian sementara Goblin hitam telah membidik dari belakang. Gnorr melemparkan kapak raksasanya dan Lyrian segera menjatuhkan dirinya ke bawah bersama dengan Hawkins dalam pelukannya. Kapak Gnorr melayang ke udara dan tepat menghajar Goblin hitam yang sedang membidik. Sang pemanah terluka parah dan terjatuh. Sang Goblin hitam kemudian mengucap mantera dan tiba – tiba saja tubuhnya menjadi tidak terlihat. Dari derap langkahnya, sang Goblin melarikan diri dari hadapan Gnorr yang perkasa.
Bangsa Goblin berhenti sesaat dan terpana memandang Gnorr. Hati mereka mencitu melihat mantan pemimpin mereka yang telah berdiri di hadapan mereka sebagai lawan. Walau kini ia tidak ditemani oleh ular besarnya namun kekuatan Gnorr dalam menggunakan kapak besar sama sekali tidak diragukan. Hal ini dimanfaatkan Bangsa Peri untuk kembali mengatur barisan pertahanan dan mulai bergerak maju menyerang Bangsa Goblin.
‘Bawa wanita itu ke dalam benteng, penyihir kecil! Aku akan menggantikan dirimu menjaga dan menghajar goblin – goblin itu,’ Kata Gnorr kepada Lyrian. Gnorr pun bergerak maju menghajar Pasukan Goblin yang kocar – kacir karena tidak memiliki pemimpin dan harus menghadapi mantan pemimpinnya sendiri yang kuat perkasa. Lyrian tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Kemenangan telah di depan mata. Bangsa Goblin maupun Vampir banyak yang tewas. Bahkan sebagian besar dari mereka memutuskan untuk mundur dan melarikan diri karena ketakutan. Maka hari itu, Benteng WhiteStone berhasil dipertahankan dan pasukan penyerbu dipukul mundur.
‘Kau masih di sini? Bukankah aku sudah membebaskanmu dan kau bebas untuk pergi sebagai orang merdeka?’ Tanya Flarion heran ketika melihat Gnorr bertempur di bawah benteng.
‘Aku bukan Gnorr yang dulu. Gnorr, The Ice Serpent Master telah mati di tangan Flarion. Aku sekarang Gnorr yang baru. Gnorr yang tidak ada hubungannya dengan Pasukan Kegelapan dan tidak ada hutang budi dengan Garanox. Gnorr yang sekarang adalah Gnorr yang memilih bertempur untuk kebenaran!’ Jawab Gnorr sambil terus mengayunkan kapak raksasanya memenggal kepala goblin – goblin yang berusaha melarikan diri.
Flarion tersenyum,’ Kalau begitu, Selamat Datang kembali di dunia kami, Gnorr yang perkasa.’ Gnorr membalas senyuman Flarion.
Saat itu di penjara bawah tanah, Flarion mengayunkan pedangnya ke Gnorr dan memutuskan rantai yang membelenggunya sambil berkata,’ Kau sekarang sudah bebas, Gnorr. Gnorr yang berhutang kepada Garanox telah kubunuh dan sekarang kau adalah Gnorr yang baru. Gnorr yang bebas untuk pergi dan hidup sebagai orang merdeka. Sekarang pergilah!’ Gnorr tidak pernah melupakan kenangan ini. Kenangan pertama kalinya ia hidup sebagai orang yang telah dihidupkan kembali dalam kebebasan.

Bab 40. The Black Orb

Gadis kecil itu menangis. Ia berlari terus sambil memegang erat bungkusan benda bulat seperti bola yang dibungkus oleh kain sutera. Gadis itu tidak tahu benda apa yang berada di dalam bungkusan itu. Yang ia ketahui benda itu sangat keras dan berat seperti bola yang terbuat dari batu permata atau mungkin logam yang sangat halus. Namun yang paling penting benda ini sangat berharga dan harus disembunyikan dari para penjahat yang telah menghancurkan desanya. Air mata mengalir dari kedua matanya yang indah saat mengenang peristiwa mengerikan itu. Tubuhnya menggigil kedinginan karena malam yang semakin larut dan kelelahan menghajar tubuhnya yang kecil mungil. Namun ia terus berlari karena mamanya berpesan ia harus terus berlari hingga bertemu dengan prajurit Bangsa Manusia dan mereka dapat melindungi isi bungkusan ini.
Langkah gadis kecil itu terhenti. Segerombolan makhluk seram yang disebut goblin oleh penduduk desanya memblokir jalan di hadapannya. Gadis kecil itu dengan cepat segera bersembunyi di semak belukar yang terdapat di tepi jalan. Hatinya ketakutan dan merintih minta tolong kepada siapa saja. Ia mulai menagis kecil dan berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar oleh gerombolan goblin di dekatnya. Sementara Para Goblin masih sibuk mencari – cari dirinya atau lebih tepat benda yang berada dalam pelukannya. Beberapa di antara mereka mulai naik ke pohon – pohon dan melakukan pengintaian.
‘Dia ada di sini!’ Seru seorang wanita yang bersuara serak. Semua goblin terdiam dan gemetar mendengar suara sang wanita tua. Wanita itu turun dari kuda hitam yang ditungganginya dan melangkah maju. Para Goblin tidak ada yang berani mengangkat wajahnya dan segera membuka jalan bagi sang wanita. Wanita itu melangkah seringan angin dan penuh kengerian seperti hembusan nafas Sang Maut sendiri. Ia berjalan mendekati tempat persembunyian si gadis kecil yang kini sedang menahan nafasnya karena ketakutan yang luar biasa.
Namun tiba – tiba seorang goblin berkuda datang dan mendekati wanita tersebut. Goblin itu bertubuh besar dan berwarna hitam. Sebuah busur dan anak panah hitam tergantung erat di punggung kudanya. Sebuah balutan kasar melekat di dadanya dan noda darah terlihat jelas di tubuhnya yang kotor. ‘Salam, yang mulia, Garanox,’ sapa Sang Goblin kepada wanita tersebut dengan nada penuh ketakutan,’ Kami mengalami kesulitan dalam menghadapi Pasukan Peri. Ada beberapa hal yang menghalangi kami, salah satunya pengkhianatan yang dilakukan manusia jelek bernama Gnorr dan...’
‘Cukup!’ Teriak Garanox marah,’ Aku tidak mau mendengar alasan busukmu itu lagi. Aku sudah tahu semuanya. Pembalasan akan tiba bagi si pengkhianat dan sekutunya. Manusia, Peri, Kurcaci dan Mermaid akan segera jatuh di tanganku. Naun sekarang yang aku butuhkan hanyalah benda yang berada dalam pelukan seorang gadis yang sedang bersembunyi di semak belukar itu.’ Garanox tersenyum sambil menunjuk ke arah semak – semak di sang gadis kecil sedang gemetar ketakutan. Goblin hitam segera menghampiri tempat yang ditunjukkan Garanox dan menyeret keluar gadis kecil tersebut tanpa perlawanan sama sekali. Sang gadis terlalu takut untuk membela diri.
Garanox segera mengambil bungkusan dari pelukan sang gadis tanpa mempedulikan rintihan ataupun tubuhnya yang gemetar. Garanox dengan cepat membuka bungkusan itu dan terlihatlah sebuah bola hitam yang berkilatan. Bola itu terbuat dari batu atau semacamnya yang sangat halus namun ada sesuatu yang mengerikan tersimpan di dalamnya. Suatu kekuatan maha dashyat yang sangat kuno dan tua, yang usianya mungkin sama tuanya dengan dunia ini. Aura kekuatan tersebut membuat para goblin bahkan Garanox sendiri menggigil karena ngeri. Namun senyum menghiasi wajah puas Garanox yang merasakan kekuatan yang begitu besar terletak di telapak tanagnnya. ‘The Black Orb... The Black Orb yang legendaris telah berada di tanganku,’ bisik Garanox sambil memandangi Bola hitam itu.
‘Bagaimana dengan gadis kecil ini?’ Tanya Goblin hitam memecah suasana. Tangan kasarnya masih mencengkram sang gadis dengan kuat.
Garanoc memandang gadis kecil yang manis itu dan tersenyum. ‘Aku tdak peduli kepadanya,’ kata Garanox,’ Kalian boleh bersenang – senang dengannya malam ini.’ Garanox tertawa lebar dan disambut oleh teriakan gembira para goblin.
Malam itu teriakan histeris sang gadis kecil terdengar sepanjang malam. Bulan pun tengelam di balik awan hitam.

Tidak ada komentar: