Selasa, 11 Maret 2008

The Chronicle of Flarion (16-20) by: Junaidi Halim

Bab 16. Kembali menjadi Tawanan

Flarion kembali diikat dan dibawa sebagai tawanan. Kondisinya tidak jauh berbeda saat ia jatuh ke tangan Pasukan Kegelapan karena Bangsa Peri sangat tidak menyukai manusia. Kebencian yang bermula dari persaingan terjadi antara Kedua Bangsa ini ketika berlangsungnya rapat dewan Guardian untuk memutuskan Bangsa mana yang paling pantas menjadi pemimpin Dunia.
Sudah ribuan tahun semenjak Lord of Darkness dikalahkan, seluruh Bangsa hidup berdampingan dalam kedamaian, saling mengakui persamaan derajat dan menghormati satu sama lainnya. Namun entah apa yang terjadi dan bagaimana awalnya hal ini bisa terjadi, Para Bangsa sepakat mengadakan Rapat Dewan Guardian untuk menghitung – hitung kembali jasa masing – masing Bangsa untuk dijadikan Pemimpin. saat itulah muncul perselisihan untuk pertama kalinya di antara Bangsa Dunia ini. Bangsa Naga dianggap tidak layak karena hampir punah. Bangsa Mermaid yang hanya senang hidup di laut dipandang sebelah mata, sehingga mereka pun mengundurkan diri dari Rapat dan mengasingkan diri. Bangsa Manusia dan Peri saling bertengkar memperebutkan kekuasaan. Bangsa Mage yang tidak setuju dengan Rapat ini sama sekali tidak hadir. Sementara Bangsa Kurcaci hanya mau menemukan emas dan kekayaan, bahkan tidak peduli dengan Rapat Dewan apapun. Pada akhirnya Rapat berkahir dengan bubarnya persekutuan Bangsa Guardian dan dimulainya masa Zaman baru ‘The Guardian enD’ (GD).
Kisah ini didengar Flarion ketika ia sedang berada di toko roti yang hangat bersama Nyonya dan teman – temannya. Kenangan yang indah membuat air mata Flarion menetes. Ia rindu Nyonya dan teman – temannya, rindu Merry dan Hawkins, entah bagaimana nasib mereka sekarang, dan juga rindu Jeff.
‘Kita telah tiba!’ seru para prajurit. Flarion melihat ke depan dan menyaksikan Benteng Para Peri. Benteng itu begitu menyatu dengan alam sehingga sulit untuk ditemukan. Belum lagi kekuatan ‘magic’ Peri yang dipasang untuk melindungi dan menyembunyikan benteng ini. Flarion dibawa ke dalam sebuah bangunan yang besar namun berbentuk seperti Pohon besar dan di dalamnya sesosok Peri duduk dengan angkuh di atas singgasana. Dialah Elrica, Sang Raja Bangsa Peri Hutan.
Elrica yang masih sangat muda menjadi Raja Bangsa Peri karena ayahnya meninggal dalam pertarungan dengan Bangsa Kegelapan. Namun sebenarnya jauh di dalam hatinya, Elrica sama sekali tidak siap menjadi seorang raja. Usia yang muda dan kurang pengalaman menjadikan Ia seorang raja yang angkuh dan selalu bertindak dengan emosinya saja. Bahkan sebenarnya Elrica sendiri tidak suka menjadi seorang raja. Ia lebih suka berkelana dan mencari pengalaman dari Sang Alam.
‘Manusia! Terkutuklah manusia yang berani menginjakkan kakinya di istanaku yang megah! Kau tidak pantas berada di sini!’ maki Elrica begitu melihat Flarion berlutut di hadapannya.
‘Kau bahkan belum mengetahui siapa aku, Wahai Raja Peri dan kau sudah mengatakan aku tidak layak berada di sini?’ Tanya Flarion heran.
‘Aku tidak peduli siapa kau! Bahkan jika kau raja sekali pun, kau tidak layak untuk menginjakan kaki kotormu di istanaku!’ Teriak Elrica geram.
Flarion tersenyum. Kebencian terpancar dari kedua mata sang Raja sehingga ia kemungkinan besar akan dihukum mati tetapi Flarion mendapat satu ide cemerlang. ‘Sang Raja, katakan padaku selain tahta yang diwariskan ayahmu, apa yang membuatmu layak sebagai raja?’ Pancing Flarion.
Pertanyaan itu membuat hati Elrica semakin panas dan geram. ‘Diam kau, Manusia! Apa kau tidak tahu aku Peri terkuat di tempat ini! Itu pun sudah cukup untuk membuatku jadi raja. Aku menjadi raja bukan karena warisan ayahku!’ Teriak Elrica dengan begitu marahnya.
‘Kalau begitu mari kita buktikan siapa yang terkuat, Kau, Raja para Peri atau aku, Flarion yang bukan siapa – siapa,’ tantang Flarion.
Ruangan itu begitu hening. Baru pertama kali dalam sejarah manusia maupun peri ada seorang manusia yang berani mengajukan tantangan pada Raja Peri. Semua yang hadir memandang Elrica untuk mendengar jawaban Sang Raja.
‘Baik, kita bertarung!’ Jawab Elrica dengan angkuh,’ Barang siapa yang kalah, maka ia akan menjadi budak dari pemenang dan nyawanya akan menjadi kepunyaan dari Sang Pemenang!’
‘Bagaimana aku bisa percaya kau akan menepati janjimu jika kau kalah?’ Flarion bertanya.
Elrica tertawa. ‘Aku tidak akan kalah!’ Jawabnya,’ Tapi untuk memuaskanmu, aku akan bersumpah di hadapan The Holy Light untuk mematuhi janjiku.’

Bab 17. Taruhan dan Kehormatan

Raja dan tawanan bertarung satu lawan satu. Entah mungkin hanya Raja Elrica yang mau melakukan hal seperti itu. Sebagai seorang raja akan jauh lebih mudah baginya untuk memerintahkan para pengawalnya langsung memenggal kepala tawanan. Tapi demi ego dan harga dirinya, Sang Raja Elrica memilih kemenangan melalui pertarungan tanpa pernah berpikir resiko akan kekalahan. Ini mungkin menjadi suatu harapan baru bagi Flarion untuk memperoleh kebebasan dan segera menemukan Merry dan Hawkins. Flarion kuatir dengan keadaan mereka.
Elrica keluar dengan menyandang pedang yang indah, bersinar kebiruan dan memancarka aura yang begitu dingin. ‘Lihat Pedang Rembulan, Pedang Mestika Albrick, Ksatria kuno Para Peri!’ Seru Para Pengawal Peri. Teror dari pedang itu seakan membekukan hati Flarion.
‘Pilih senjatamu, Tahanan!’ Seru Elrica ketika Beberapa Pengawal datang dan meletakkan puluhan jenis senjata tajam Para Peri di lantai balairung istana.
Flarion kebingungan memilih senjata yang sebanding dengan Pedang Rembulan milik Sang Raja. ‘Tidak ada yang sesuai,’ Gumam Flarion. Ia pun mengalihkan pandangan nya ke saku salah seorang prajurit. ‘Aku memilih pisau berburu prajurit itu,’ kata Flarion tenang seraya jarinya menunjuk kepada pisau kecil yang tergantung pada ikat pinggang seorang Prajurit Peri.
Semua yang hadir saat itu terkejut, tak percaya akan pilihan bodoh Flarion. Menghadapi Pedang Rembulan hanya dengan menggunakan sebilah pisau adalah sebuah kebodohan besar. ‘Jangan Bercanda denganku, manusia!’ Teriak Elrica dengan muka merah padam,’ Apa kau mau mati dengan mudah dan konyol?’
‘Tenang saja, Wahai Raja Peri yang terhormat. Tidak semudah itu kau dapat mengalahkanku,’ kata Flarion tersenyum percaya diri.
Prajurit itu pun menyerahkan pisau nya kepada Flarion. Flarion menimbang – nimbang pisau itu sebentar kemudian mengambil posisi untuk bertarung. Elrica pun segera menyiapkan pedangnya. Mereka berdiri saling berhadapan dengan senjatanya masing – masing. Para pengawal berdiri melingkari mereka untuk menonton sekaligus mengawasi jalannya pertarungan sebagai saksi.
‘Shadow Moon Strike!’ Seru Elrica memulai serangan pertama.
Flarion menghindar ke arah kiri dengan mudah. ‘Serangan nya terlalu lambat,’ batin Flarion tapi tiba – tiba, bahu Flarion tergores sesuatu dan rasa sakit yang membekukan pun langsung menyebar cepat ke seluruh tubuh Flarion, menyebabkan ia sulit bernafas dan bergerak. Flarion memandang bahunya yang terluka oleh Pedang Rembulan dan darahpun mulai menetes dari luka itu. ‘Bagaimana mungkin? Serangan itu seharusnya meleset!’ Seru Flarion. Mata Flarion terbelalak dan ia pun sadar akan kekuatan Pedang Mestika Para Peri yang sebenarnya. ‘Serangan Ilusi bayangan,’ desis Flarion. Serangan pertama hanya tipuan bayangan...hanya ilusi.
Elrica tertawa. ‘Bagaimana? Masih ingin melanjutkan pertarungan sia – sia ini? Kau terlalu meremehkan senjata mestika ini. Pedang ini mampu menciptakan bayangan dan ilusi namun bukan hanya itu, Aura dingin yang terpancar dari Pedang juga akan membuat gerakan lawan menjadi lambat dan mudah terbaca olehku,’ kata Elrica,’ Oleh karena itu, matilah dengan tenang, hai, kau manusia!’
Elrica kembali menyerang. Flarion diam di tempat. Elrica menebas leher Flarion namun Flarion tidak apa – apa. Hanya Bayangan! Elrica menusuk Jantung Flarion! Flarion juga tidak menghindar. Lagi – lagi hanya bayangan. Elrica berada di belakang Flarion dan menikam dari belakang. Flarion berbalik dan menangkap pedang dengan tangan kiri sementara pisau di tangan kanan nya dihujamkan tepat ke pangkal paha Elrica. Sang Raja pun berteriak kesakitan dan terjatuh.
‘Kau! Bagaimana mungkin kau bisa membedakan antara bayangan dan diriku yang asli?’ Tanya Elrica sambil menahan sakit.
‘Kau sendiri yang memberi tahu kelemahanmu, Sang Raja. Aura pedang itulah jawabannya. Aku bisa merasakan dirimu yang asli dengan merasakan aura pedangmu yang dingin. Bayangan sama sekali tidak memiliki aura,’ Jawab Flarion dengan tenang,’ Kini kakimu terluka. Jurus bayanganmu tidak dapat lagi digunakan. Apa lagi yang akan kau lakukan?’
‘Kau pikir kau sudah menang, manusia? Kemampuanku bukan hanya sedangkal itu!’ Seru Elrica,’ Ice Crasher!’ Elrica menghujamkan Pedang Rembulan ke lantai istana dan gelombang dingin pun keluar dengan dashyat dari pedang tersebut, membekukan apapun yang menempel di lantai dalam radius 10 meter. Lantai pun berubah menjadi lapisan es yang tebal.
Flarion melompat ke udara tepat pada waktunya sebelum ikut membeku menjadi es, namun saat ia mendarat kembali, kakinya tergelincir oleh lantai yang licin akibat berubah menjadi es. Flarion bangkit dengan susah payah agar tidak tergelincir lagi oleh licinnya lantai es. Ia memandang elrica dan terkejut. Elrica dan Peri – peri lainnya berdiri dengan kokoh di atas es tanpa tergelincir sedikit pun.
‘Kuberitahu sesuatu, Hai Manusia. Kami Bangsa Peri dapat melangkah seringan angin maka kami tidak mudah tergelincir di atas es. Tapi bagaimana dengan kau? Apa kau masih bisa bertempur jika berdiri saja kau sudah tidak bisa?’ Tanya Elrica dengan nada mengejek.
Flarion tersenyum,’ Tentu Bisa!’ Serunya sambil meluncur maju. Karena licinnya es, kecepatan Flarion yang meluncur menjadi 2-3 kali lebih cepat daripada ia berlari seperti biasanya. Elrica terkejut dengan serangan cepat itu dan Flarion tidak menyia – nyiakan kesempatan. Ia meninju elrica hingga jatuh berlutut dan menginjak bahunya. Dengan Menggunakan tubuh Elrica sebagai pijakan, Flarion melompat tinggi keluar dari lantai yang telah dijadikan es. Flarion berlari ke arah hutan yang lebat. Elrica yang melihat Flarion melarikan diri segera mengejar.
Aku harus memancingnya ke hutan,’ pikir Flarion cepat,’ Pertarungan dalam hutan adalah keahlianku, keahlian Para Penjaga Hutan, The Forest Watcher!’
Flarion menggunakan pisau untuk membantunya memanjat pohon dengan cepat dan mulai melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Elrica mengejarnya terus dari bawah karena kakinya yang terluka tidak memungkinkan baginya untuk memanjat pohon. Flarion melompat ke sebuah pohon yang besar dan tiba – tiba ia merasakan adanya jebakan mematikan di bawahnya. Ia melihat ke bawah dan melihat di bawahnya telah terbentang kolam lumpur hisap yang sangat besar. Flarion aman terhadap jebakan itu karena melompat dari pohon ke pohon tetapi Elrica yang berjalan di bawah tidak.
‘Celaka! Elrica, hati – hati! Ada Lumpur hisap di sini!’ Seru Flarion memperingatkan,’ Jangan maju ke sini!’. Tapi terlambat, Elrica yang penuh kemarahan lupa pada jebakan istananya sendiri dan tidak percaya kata – kata Flarion. Ia menerjang dengan sekuat tenaga dan masuk ke tengah – tengah lumpur. Lumpur itu pun mulai bekerja, menghisap Elrica dengan sangat cepat.
‘Tolong! Tolong aku!’ Jerit Elrica panik ketika tubuhnya terus terhisap masuk ke dalam lumpur itu. Flarion segera bergantungan terbalik dengan kepala di bawah. Menggunakan keduanya kakinya yang saling mengait di batang pohon tepat di atas Elrica, kedua tangan Flarion diulurkan ke bawah untuk menangkap tangan Elrica tapi jaraknya terlalu jauh.
‘Pedangmu! Ulurkan pedangmu!’ Seru Flarion. Elrica mengacungkan pedangnya ke arah Flarion. Dengan dua tangan Flarion memegang ujung pedang itu dan menarik Elrica ke atas. Kesakitan yang begitu membekukan saat memegang Pedang Rembulan membuat Flarion hampir kehilangan pegangan tapi Ia terus bertahan. Telapak tangan Flarion berdarah hebat karena tajamnya Pedang Rembulan namun pada akhirnya ia berhasil mengangkat sang raja ke atas pohon. Elrica memapah Flarion yang kesakitan dan hampir mati membeku turun dari pohon besar.
Para Prajurit Peri pun berdatangan. Melihat Elrica memapah Flarion yang terluka hebat, mereka pun mengelu – elukan Sang Raja Para Peri.
‘Selamat atas kemenangan ini, Yang Mulia. Anda memang Raja hebat dan perkasa,’ seru Para Pengawal. Wajah Elrica menjadi pucat karena ia tahu bahwa Flarion lah pemenang sebenarnya. Tapi jika ia mengatakan kebenaran itu maka sebagian besar Bangsa Peri akan marah karena Raja mereka dikalahkan manusia biasa. Elrica, Sang Raja menjadi aib bagi bangsanya sendiri dan akan timbul banyak pemberontakkan untuk menggulingkan dirinya. Tapi di pihak lain, hatinya tidak tahan menanggung kebohongan ini seumur hidupnya. Ia akan terkena kutukan karena melanggar sumpahnya sendiri, sumpah kepada The Holy Light. Elrica kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Flarion yang dalam keadaan setengah sadar akibat rasa sakitnya yang luar biasa mengerti kesulitan dan kebimbangan hati Sang Raja. Maka Ia pun berlutut di hadapan Elrica dengan susah payah dan berkata’ Aku memilih jadi budakmu, sang Raja!’ dan Flarion pun pingsan setelah itu.
Flarion membuka matanya. Ia berada di sebuah kamar Peri. Elrica sedang duduk di sampingnya seorang diri dengan wajah sedih.’ Mengapa kau berbohong, manusia yang terhormat?’ Tanyanya lirih,’ kenapa harus berbohong untuk membelaku?’
‘Aku tidak berbohong,’ kata Flarion bingung.
‘Tapi kau bilang aku yang memenangkan pertarungan dan kau bersedia menjadi budakku!’ Balas Elrica.
‘Kau salah. Aku tidak pernah bilang kau lah pemenangnya. Sudah jelas akulah yang menang, kau jatuh ke lumpur dan berhutang nyawa padaku,’ jawab Flarion sembari tersenyum,’ Aku bilang aku memilih menjadi budakmu. Anggaplah itu sebagai hadiah kemenanganku. Apakah seorang pemenang sepertiku tidak boleh memutuskan nasibnya sendiri dan memilih menjadi budak dari Raja Peri sepertimu?
Elrica pun terharu. ‘Kenapa kau melakukan ini?’
‘Demi kehormatan Bangsa Peri agar tidak merasa dipermalukan. Demi kehormatan mu sebagai Raja dari Bangsa ini. Demi menjaga kedamaian di bangsamu ini. Aku rasa semua itu pantas dibayar dengan statusku sebagai budak,’ Jawab Flarion lagi. Elrica pun terdiam, memandang manusia dengan hormat untuk pertama kalinya. Manusia yang mau berkorban untuk Bangsa Peri... Flarion.
‘Seandainya saja Para Leluhur kita yang hadir dalam Rapat Dewan Guardian sebijaksana kau, mungkin Bangsa Peri dan Manusia masih duduk berdampingan hingga kini. Di hadapan orang lain kau adalah budak tetapi di dalam hatiku kau adalah Tuan, Manusia Terhormat, Flarion. Terimalah hormatku!’ Elrica membungkuk di hadapan Flarion.
Flarion segera bangun dan mengangkatnya.’ Seorang Raja Peri tidak boleh membungkuk di hadapan manusia biasa sepertiku!’ Seru Flarion. Mereka berpegangan tangan dan saling menatap.. saling tersenyum.
Persahabatan pun dimulai.

Bab 18. Hutan Sang Penyihir

Merry terus berlari dalam gelap. Hutan ini menyesatkan bahkan bagi seorang Penjaga Hutan sepertinya. Sudah berhari – hari Merry melacak jejak untuk menemukan jalan keluar tetapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak ada jalan keluar.
‘Hutan apa ini?’ Merry begitu heran,’ Tidak ada tanda – tanda kehidupan hewan apalagi manusia yang ada di sini, hanya ada pohon – pohon yang besar.’ Merry terperangkap, ia terus kembali ke tempat yang sama. Tubuhnya mulai lemas tanpa makanan dan minuman.
Gubuk! Sebuah Gubuk reyot terlihat tak jauh dari posisi berdirinya. Merry heran. Gubuk itu tidak ada sebelumnya. Merry sudah berputar – putar hutan ini selama 3 hari. Bagaimana mungkin gubuk itu baru terlihat sekarang? Merry berhati – hati mendekati gubuk itu, perlahan – lahan, langkah demi langkah. Ia melihat seseorang berdiri mematung di halaman bersama seekor rajawali.
‘Hawkins?’ seru Merry tidak percaya,’ Kakak! Aku di sini!’ Merry kegirangan berhasil menemukan kakaknya kembali. Dengan begitu ia bisa terbang dengan rajawali dan keluar dari hutan terkutuk ini.
Merry menghentikan langkahnya. Matanya terbelalak dan tubuhnya menegang. Kakaknya tidak bergerak atau tidak bisa bergerak lebih tepatnya. Kutukan! Seseorang atau sesuatu telah mengutuk Hawkins dan rajawali menjadi batu. Merry segera mengambil busur dan anak panahnya. Musuh siapapun dia, ada di dekatnya. Merry bisa merasakan kehadirannya.
‘Stone Cast!’ Seseorang merapal mantera. Itu adalah suara terakhir yang didengar Merry sebelum semuanya menjadi gelap dan hening. Merry berubah menjadi batu.
‘Merry!’ Teriak Flarion, terbangun dari tidurnya. Hatinya berdebar – debar. Merry berada dalam bahaya. Flarion dapat merasakan bahwa Merry dan Hawkins dalam bahaya. Ia harus menolong mereka.
Keesokan pagi, Flarion sudah menyiapkan diri untuk pergi. Elrica terkejut karena keputusan Flarion yang tiba – tiba. Elrica telah membebaskan Flarion sebagai budak. Hal ini diputuskan dalam Rapat Peri dengan penjelasan atas kemurahan sang Raja maka Raja tidak akan pernah mengambil budak lagi. Saat itu juga semua budak dibebaskan, termasuk Flarion. Keputusan itu dianggap sangat bijak oleh rakyat Peri dan mereka semakin menghormati Raja Elrica. Tetapi Elrica menahan Flarion karena keinginan untuk belajarnya yang kuat tentang kebijaksanaan. Setidaknya itulah yang dikatakan Elrica kepada Flarion. Tapi sepertinya Flarion tidak bisa lagi ditahan kepergiannya.
‘Ajaklah aku!’ Elrica menahan Flarion yang tergesa – gesa.
‘Apa!’ Flarion menghentikan langkahnya. ‘Apa kau gila? Kau seorang raja, Elrica. Kau mau meninggalkan semuanya itu untuk pergi denganku?’
‘Aku tidak pantas jadi raja jika aku belum menjadi bijak melebihi dirimu! Aku dapat membentuk Dewan untuk menggantikan diriku selama aku pergi. Tapi yang jelas, aku tidak akan membiarkan dirimu pergi sendirian untuk mencari teman – temanmu,’ Kata Elrica penuh tekad.
Flarion terpaksa mengangguk. Ia tidak punya waktu berdebat dengan Elrica yang keras kepala lagipula siapa tahu Elrica dapat membantunya menemukan Merry dan Hawkins karena dia jauh lebih mengenal hutan di sekitar Istana Peri. Elrica pun segera membentuk rapat singkat dan membentuk Dewan Para Peri yang bijaksana. Tak lama kemudian Flarion sudah berkuda berdampingan dengan Elrica menembus hutan.
‘Hutan Sang Penyihir!’ Seru Elrica, ‘Jika mimpimu itu adalah firasat penglihatan dari yang Maha Kuasa maka teman – temanmu berada dalam Hutan Sang Penyihir. Mereka dalam bahaya1’
‘Kau tahu dimana letak Hutan Penyihir?’ Tanya Flarion Panik.
‘Tidak ada yang pernah tahu persis. Hutan itu adalah hutan yang menyesatkan. Hanya Penyihir sakti yang bisa keluar – masuk hutan seperti itu dan mematahkan sihirnya atau Sang Penyihir sendiri yang sengaja menjebakmu untuk masuk ke dalam hutan. Setelah itu Sang Penyihir akan menyesatkanmu dalam hutan hingga mati kelaparan,’ Jawab Elrica,’ aku pernah mendengar dongeng lama tentang Hutan itu. Hanya saja kebenarannya tidak terjamin.’
‘Tak ada salahnya dicoba. Ayo kita pergi!’ Flarion pun memacu kudanya. Elrica segera menyusul ke muka dan memimpin jalan.
Mereka tersesat. Tak disangka Elrica berhasil menuntun mereka masuk ke dalam Hutan Sang Penyihir. Namun meski berhasil masuk pun Flarion masih tetap kesulitan menemukan Merry dan Hawkins.
‘Gubuk!’ Seru Flarion,’ Ada sebuah gubuk aneh di sana namun di sekeliling gubuk ada semacam cahaya – cahaya aneh.’
‘Gubuk? Gubuk yang mana?’ Elrica heran,’ Aku tidak melihatnya. Jangan – jangan... cahaya pelindung! Cahaya itu adalah Sihir Mage tingkat tinggi yang membuat sebuah benda atau bahkan makhluk menjadi tidak terlihat. Tapi bagaimana kau bisa melihatnya?’
‘Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya musuh kita adalah Penyihir yang sangat kuat. Yang dapat membuat hutan sihir dan cahaya pelindung pasti bukan Penyihir biasa saja. Berhati – hatilah, kawan,’ Flarion berbisik – bisik kepada Elrica.
Flarion pun melangkah maju dan menembus Cahaya pelindung. Saat itu juga Cahaya itu lenyap dan Elrica pun bisa melihat gubuk itu pada akhirnya.
‘Merry! Hawkins! Apa yang terjadi?’ Flarion berlari ke arah mereka dan Ia pun terkejut. Merry dan Hawkins tidak bergerak. Kutukan! Mereka dikutuk menjadi batu. Seseorang keluar dari dalam gubuk. Flarion dapat melihatnya, seorang wanita muda yang cantik, tetapi ia tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena cahaya Pelindung melindungi sekujur tubuhnya. Ia mengarahkan tangannya ke arah Elrica. Celaka! Elrica tidak dapat melihatnya!
‘Awas, Elrica!’ Seru Flarion. Flarion segera melompat menabrak Elrica namun terlambat sudah. ‘Stone Cast!’ Wanita itu berseru dan dalam seketika cahaya keluar dari jarinya dan menghantam Elrica. Elrica jatuh ke tanah namun telah berubah menjadi batu.
Flarion segera bangkit dan menarik pisau dari ikat pinggangnya. Ia berlari ke arah wanita itu dengan posisi menyerang. ‘Stone Cast!’ wanita itu kembali berseru. Flarion tidak sempat menghindar. Ia perlahan berubah juga menjadi batu. Semuanya menjadi gelap.
‘Flarion, anakku, ingatlah selalu, di saat paling kelam di dalam hidupmu di mana harapan manusia sudah sirna, berdoa dan percayalah kepada Yang Maha Kuasa. Ia akan memberi pertolongan. Keep Your Faith!’ ... Pesan Sang Ayah... Pesan Jeff. Jiwa Flarion berontak. Jiwa Flarion berdoa.... Cahaya! Flarion melihat cahaya!
Kutukan terpatahkan. Tiba – tiba saja Flarion mampu menggerakan tubuhnya kembali seperti semula. Flarion melihat Penyihir wanita itu terkejut setengah mati, tidak percaya pada penglihatan nya sendiri. ‘Tentu saja! Ini pertama kali nya kutukan nya berhasil dipatahkan,’ pikir Flarion.
Tetapi Flarion salah. Penyihir wanita itu tidak terkejut karena sihirnya yang dipatahkan melainkan karena tubuh Flarion bersinar terang. Flarion terkejut karena sesuatu sedang mendekapnya erat. Ia bercahaya seterang Sang Surya dan bentuknya seperti kumpulan Bintang yang dijadikan satu. Benar – benar tak bisa dilukiskan dengan kata – kata.
‘Root Cast!’ Wanita itu kembali melontarkan mantera. Akar – akar berduri muncul dari dalam bumi dan berusaha mengikat Flarion. Tetapi ketika akar itu mendekati Flarion yang bersinar, mereka semua terbakar dengan sendirinya.
‘Thunder Cast!’ Wanita itu kembali merapal mantera dan kali ini Kilat meluncur dari tangan kanannya dan menghantam Flarion. Namun Kilat itu memantul dan meledakkan Pohon Besar di samping Flarion.
Flarion segera maju mendekati wanita itu. Sang Penyihir wanita ketakutan dan mulai menghindar dengan Cahaya Pelindungnya. Tetapi Flarion tetap dapat melihat keberadaannya dan segera melemparkan pisau ke arahnya, tepat ke arah pangkal lengannya.
‘Ahhh, aduh sakit sekali!’ Seru penyihir itu sambil menjatuhkan diri dan menangis,’ Ampun, jangan sakiti aku! Lakukan apa yang kau mau lakukan kepadaku tapi jangan bunuh aku!’ Wanita Penyihir itu terus menangis. Flarion memandangnya terus dengan tetap waspada.

Bab 19. Rahasia Kelam Flinch

Flarion berdiri di samping Merry yang sedang sibuk merawat luka di lengan Lyrian, The Spellcaster, Mage yang baru saja bertempur dengan Flarion. Sementara Elrica dan Hawkins masih juga memegang senjatanya dengan sikap waspada. Tubuh Flarion juga sudah tidak bersinar lagi. Lyrian telah membebaskan kutukan teman – teman Flarion. Lyrian seorang gadis muda yang sangat cantik. Umurnya diperkirakan sekitar 16 -17 tahun, Mage yang masih sangat muda.
‘Maaf, aku menyerang kalian karena kupikir kalian adalah orang jahat yang berusaha membunuhku seperti orang – orang yang kutemui sebelum – sebelumnya,’ Kata Lyrian lirih,’ Aku hanya berusaha melindungi diriku sendiri.’
‘Lyrian, mengapa kau membuat hutan terkutuk ini dan menyesatkan banyak orang?’ Tanya Merry Lembut.
Lyrian balas menatap Merry. ‘Bukan aku yang membuat Hutan Sihir ini. Aku dipenjara dalam Hutan ini semenjak aku lahir bersama dengan ibuku, namun dia sudah meninggal. Aku sendiri ingin sekali keluar dari Hutan ini tetapi tidak ada jalan keluar. Hanya ayah yang bisa keluar masuk hutan ini dan biasanya beliau membawakan kami makanan atau buku untuk dibaca. Tetapi sudah bertahun – tahun ia tidak pernah datang lagi,’ cerita Lyrian.
‘lalu bagaimana kau mendapatkan makanan?’ Tanya Flarion,’ Aku tidak melihat adanya hewan buruan di sini?’
‘Summonning Magic! Aku mampu merapal mantera dan memanggil hewan yang mau kumakan ke tempat ini. Tetapi Hewan itu harus hewan yang lemah. Semakin kuat hewan yang dipanggil dengan ‘summon’ maka kekuatan yang dibutuhkan juga harus semakin kuat,’ Lyrian menjelaskan.
‘Jadi bukan kau yang sengaja menjebak aku dan rajawaliku masuk ke dalam hutan ini?’ Tanya Hawkins.
‘Tidak! Kau masuk sendiri ke hutan ini. Setiap orang yang melintas ke dalam wilayah Hutan Sihir akan terjebak di dalamnya dan tidak bisa keluar lagi, seperti halnya diriku,’ Jawab Lyrian sambil menundukkan kepalanya dengan lesu.
‘Ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi, Mage,’ Pinta Elrica.
Lyrian pun mulai bercerita asal mula Hutan Sihir atau yang dikenal Hutan Sang Penyihir oleh kebanyakan orang. Semua ini berasal dari Bangsa Mage, Bangsa penyihir yang dipimpin oleh Flinch. Flinch adalah ketua dari Bangsa Mage dan juga merupakan penyihir paling berbakat dan kuat. Suatu hari Flinch jatuh cinta kepada Lylian, salah seorang muridnya yang cantik. Namun pada saat itu Flinch sudah memiliki seorang isteri bahkan seorang anak perempuan. Lylian yang muda tidak kuasa menolak keinginan Sang guru dan terpaksa melayani keinginan kotor Flinch. Hingga suatu hari, Lylian pun mengandung dari Flinch. Flinch yang menjadi panik berniat menggugurkan sang janin dengan ramuan sihir yang ampuh. Tetapi takdir mengatakan lain, Sang bayi tetap berhasil dilahirkan dengan selamat.
Flinch akhirnya memutuskan membuang Lylian dan bayinya agar rahasianya tetap aman. Karena Flinch tahu, jika rahasia perselingkuhan dirinya terbongkar, Bangsa Mage akan dipermalukan dan Ia akan kehilangan posisi ketua. Flinch lah yang menciptakan Hutan Sihir dengan mengorbankan nyawa 4 orang muridnya dalam sebuah ritual Kegelapan sebagai persembahan dan mengunci Lylian beserta bayinya di dalam Hutan Sihir. Dengan begitu rahasia gelapnya akan tetap tersembunyi. Flinch berbohong kepada penduduk Mage yang lain dengan mengatakan Lylian dan 4 murid lainnya hilang di dalam hutan karena terjebak sihir hitam.
‘Bayi itu adalah aku!’ isak Lyrian mengakhiri ceritanya,’ Aku adalah anak yang dibuang oleh ayahnya sendiri.’ Lyrian menangis tersedu – sedu. Flarion menghela nafas. Merry seibuk membelai – belai kepala Lyrian untuk menenangkannya.
‘Dasar lelaki kotor!’ Maki Hawkins,’ Akhirnya dia mendapat balasan setimpal dengan mati di tangan muridnya sendiri, Garanox.’
‘Lyrian, sekarang kau tidak sendirian lagi. Kami adalah keluargamu. Bukankah kita sama – sama terjebak di sini?’ Flarion tersenyum kepada Lyrian.
Lyrian berhenti menangis dan terisak – isak mengusap air matanya. ‘Terima kasih, semuanya... terima kasih.’

Bab 20. Ramalan dalam Cermin

Flarion dan Merry tidak menyerah. Mereka sudah seharian berjalan mengelilingi Hutan Sihir dari ujung ke ujung, namun Lyrian benar. Tidak ada jalan keluar. Bahkan Flarion menemukan hal yang mengerikan dari Hutan Sihir ini. Di Ujung Utara, Selatan, Barat dan Timur ditemukan 4 pohon besar yang sama persis. Di dalam batang setiap Pohon itu terdapat tubuh manusia yang sudah mati dan menyatu dengan Pohon tersebut. Flarion memperkirakan mereka adalah murid – murid Flinch yang dikorbankan oleh gurunya sendiri. Setiap kali Flarion berjalan ke arah Utara melampaui batas Pohon Besar itu maka ia akan muncul kembali di Pohon Besar di arah Selatan. Demikian juga jika ia terus berjalan terus ke arah timur maka akan muncul di arah barat. 4 Pohon inilah yang membuat mereka terus berjalan berputar – putar, tanpa pernah bisa keluar.
Flarion kembali ke gubuk dan menjatuhkan dirinya, berbaring di sebelah Lyrian yang sedang asyik membaca buku mantera. Lyrian dengan sikap manja segera merangkulkan dirinya ke bahu Flarion. Flarion membalasnya dengan menggelitiki bagian perut Lyrian yang terbuka. Lyrian pun tertawa geli dan mereka berdua bergulingan. Pada saat itulah sebuah cermin kecil jatuh dari saku Lyrian ke lantai.
Lyrian segera bangkit dan memungutnya. Ia melihat cermin itu dan bernafas lega,’ Untung tidak pecah.’ Ia pun kembali tersenyum dan balik menggelitiki Flarion. Mereka berdua kembali tertawa – tawa. Flarion berusaha menghindar dan mendorong Lyrian. Tiba – tiba saja Lyrian menjerit dan ia kembali mengeluarkan cerminnya.
‘Apa? Apa yang terjadi?’ Tanya Flarion heran.
Lyrian memandang Flarion dengan sama herannya,’ Aku merasakan adanya energi sihir keluar dari cermin ini.’
‘Cermin apakah itu?’ Tanya Flarion penasaran.
‘Cermin ini warisan dari Ibuku. Beliau berpesan kepadaku untuk menjaganya baik – baik. Beliau juga berkata jika aku sudah menguasai semua unsur alam maka aku dapat mengetahui kebenaran dalam sejarah Bangsaku,’ Lyrian tersenyum.
Flarion memperhatikan cermin itu dari jauh. Ada 7 simbol terukir di sekeliling cermin tersebut, Api, Es, Angin, Logam, Pohon, Batu dan Kilat. ‘Ada berapa unsur yang telah kau kuasai?’ Tanya Flarion kepada Lyrian.
‘ Aku sudah menguasai Kutukan Batu, Pohon dan Kilat. Kurasa baru 3 unsur. Kenapa?’ Tanya Lyrian heran.
Flarion mendekat dan menyentuh cermin tersebut. Lyrian terkejut ketika 2 simbol, Api dan Logam bersinar terang. ‘Kumpulkan semua orang. Kurasa kita dapat memecahkan misteri dari cermin ini,’ Kata Flarion.
Flarion tetap memegang cermin tersebut. Simbol Logam dan Api bersinar. ‘Ice Crasher!’ Seru Elrica menghantam permukaan cermin dengan pedang pusakanya. Simbol es menyala. Hawkins menusukkan tombaknya ke permukaan cermin. Simbol angin menyala. ‘ Giliranmu, Lyrian!’ Kata Flarion. ‘ Stone Cast! Root Cast! Thunder Cast!’ Seru Lyrian merapal mantera secara beruntun ke arah permukaan cermin, maka semua simbol itupun bersinar dan cermin itu pun pecah. Dari dalam cermin keluar cahaya yang memantul ke dinding dan mereka melihat Flinch.
Bayangan Flinch terpantul pada dinding dari cermin yang pecah tersebut. Cermin itu mengeluarkan cahaya rekaman dari kejadian – kejadian masa lalu. Flinch terlihat jauh lebih muda. Ia masuk ke ruangan dengan marah dan segera menampar wajah dari seorang gadis buta. Gadis itu adalah anaknya sendiri, The Watcher, orang yang meramalkan Garanox sebagai Mage terkuat. Gadis itu menangis. ‘Aku menyesal melahirkan Mage buta sepertimu!’ Teriak Flinch dan pada saat itu tiba – tiba The watcher melayang ke udara dan terdengar suara desisan :
Pada Tahun Ke- 106, mage terkuat akan lahir. Kekuatan Gelap akan berada di bawah telapak tangan nya dan dunia akan takluk di bawah kaki Sang Mage. Garanox, namanya Garanox.
‘Ramalan... itu adalah Legenda dari ramalan!’ Seru Elrica terkejut.
Cahaya itu padam dan kembali muncul. Namun tempatnya sudah berganti. Flinch sedang memangku seorang bayi perempuan yang mungil. ‘Garanox, kini kau adalah muridku. Kau akan kujadikan Mage terkuat yang akan menaklukan dunia bahkan Kekuatan Gelap Lord of Darkness juga akan takluk di bawah tanganmu yang mungil ini.’ Flinch tertawa riang.
Cahaya itu terus berlanjut. Seorang anak perempuan berumur 5 tahun, dalam keadaan telanjang dan terikat, dibenam dalam lumpur beracun. Ia menahan diri untuk tidak menjerit kesakitan. Flinch muncul dan memaki,’ Garanox, sampai kapan kau akan terus di situ. Gunakan sihirmu untuk membebaskan diri bodoh!’ Flinch berlalu... Garanox kecil meneteskan air mata.
Garanox kecil terbaring kesakitan. ‘Guru, aku berhasil mengalahkan monster itu.’ Flinch menamparnya dan memaki,’ Dasar murid bodoh! Hanya begitu saja kau sudah puas?’ Kau adalah Mage terkuat, seharusnya kau sudah berhasil mengalahkan Naga atau sejenisnya! Aku kecewa kepadamu!’ Flinch pergi. Garanox mengepalkan tangannya, matanya berkilat, penuh tekad.
Garanox remaja menghajar 100 Mage dewasa dengan mantera yang mematikan. ‘Mereka terlalu lemah, Guru!’ Serunya kepada Flinch, ‘Ajari aku sihir yang lain!’ Flinch menggeleng,’ Aku tidak punya sihir yang lain lagi untuk diajarkan kepadamu!’ Flinch tersenyum bangga.
Garanox tidak puas. Ia diam – diam mencuri ‘Darkness Scepter’, tongkat Kegelapan milik Lord of Darkness dan belajar ‘The Dark Mage’, ilmu hitam yang amat sangat terlarang. Garanox pun berubah menjadi jahat. Garanox tidak puas dengan semua itu. Ia ingin membebaskan The Lord of Darkness, sang kegelapan dan kejahatan itu sendiri agar dapat belajar langsung dari Sang Master. Untuk itu ia butuh Energi Sihir yang banyak dari para Mage. Energi para Mage.
Garanox menghancurkan Bangsa Mage, Bangsanya sendiri. Membunuh semuanya termasuk juga Flinch dan sang peramal, The Watcher. Cahaya itu pun padam dan berakhir dengan tawa Garanox yang masih bergema.
‘Jadi ramalan itu salah?’ tanya Lyrian heran,’ Garanox tidak menjadikan dunia takluk di kaki Bangsa Mage.’
‘Tidak, ramalan itu tepat. Garanox kini memang Mage terkuat dan sebentar lagi dunia akan takluk di bawah kakinya bahkan kekuatan Kegelapan akan diwariskan ke tangannya. Ramalan itu tidak pernah menyebutkan Bangsa Mage yang akan menaklukkan dunia tetapi Garanox yang akan melakukannya,’ Elrica menghela nafas,’ Flinch yang salah mengartikan ramalan itu dan ia yang menggenapinya dengan mengajari Garanox hal yang tidak benar, ambisi yang menggebu – gebu untuk menjadi yang terkuat.’
‘Garanox menjadi seperti itu karena ramalan ini!’ Seru Flarion,’ Bodohlah orang – orang yang percaya ramalan ini!’ Semua terdiam.
‘Bangsa Mage jatuh karena percaya ramalan ini. Mereka jatuh karena memaksa seorang anak untuk menjadi Mage terkuat sesuai keinginan mereka tanpa peduli akibat maupun caranya. Bangsa Mage menciptakan monster bagi diri mereka sendiri karena kerakusan hati mereka akan kekuasaan!’ Seru Flarion,’ Ramalan itu juga mengatakan bahwa dunia akan takluk di bawah kaki si Penyihir Hitam Garanox. Apa dengan begitu kita akan tinggal diam, pasrah ditaklukkan kegelapan? Aku akan berjuang untuk kebenaran! Akan kupatahkan ramalan itu. Dunia tidak akan pernah takluk oleh kejahatan. Bagaimana dengan kalian? Kalian di pihakku atau tidak?’

Tidak ada komentar: