Bab 1. Tim Pencuri Roti
‘Hentikan mereka!’ seru seorang koki gendut sambil berlari mengejar beberapa remaja berumur 14 – 17 tahun dengan sebuah sendok besar di tangan. Sendok itu diayun – ayunkan seperti sebilah pedang. Tapi sang koki tidak mungkin bisa mengejar remaja – remaja tersebut, bahkan di kota kecil Venetta tidak ada seorang pun yang pernah berhasil menangkap mereka. Pada akhirnya sang koki pun berhenti berlari karena kelelahan dan terduduk di tepi jalan. Suatu kemenangan lagi untuk ‘Tim Pencuri Roti’, demikianlah kumpulan remaja tersebut menyebut diri mereka.
Tim pencuri roti dibentuk oleh Flarion yang kini menjadi sang pemimpin dari tim kecil ini. Flarion adalah salah satu anak gelandangan yang pada awalnya tinggal di taman kota. Namun karena dianggap merusak pemandangan kota Venetta maka penduduk mengusir Flarion beserta para gelandangan kecil lainnya, memaksa Flarion dan yang lainnya untuk tinggal di tepi hutan. Siapa yang peduli pada para gelandangan? Siapa yang peduli jika mereka dimangsa binatang buas atau mati kedinginan? Flarion pun tidak dapat lagi mengemis di tepi jalan Venetta pada musim dingin, ketika hutan tidak lagi memberikan makanan. Maka tak ada pilihan lain, mencuri adalah satu – satunya jalan. Maka terbentuklah Tim Pencuri Roti yang selalu mencuri roti di Kota Venetta setiap musim dingin.
Mengapa roti? Mengapa bukan buah, kue, manisan atau permen? Makanan yang sangat disukai oleh remaja seumur mereka. Tentu saja karena roti ringan dan mudah dibawa dalam jumlah besar. Roti juga mudah dibagi dan membuat kenyang walaupun rasanya tawar karena mereka tidak punya gula atau selai sebagai pelengkap. Tapi untuk kenyang, hanya itulah alasan mereka mencuri, bukan? Hanya untuk itu.... hanya untuk itu mereka berlatih berlari cepat, bergerak gesit dan terorganisir saat memasuki gudang roti agar mereka bisa tetap mencuri dan tidak tertangkap. Tim pencuri roti harus tetap mencuri agar seluruh gelandangan kecil di tepi hutan dapat tetap hidup melewati musim dingin.
Bab 2. Kegagalan adalah tanggung jawab pemimpin
Kejar mereka! Jangan biarkan mereka lolos! Mereka ke arah sana! Teriakan – teriakan itu terdengar lagi di kota Venetta. Tim Pencuri Roti sedang beraksi, tak terkejar, tak terkalahkan. Para penjaga kota pun tidak dapat mengejar mereka apalagi sampai menangkapnya. Tapi malam ini berbeda, hal yang sungguh tidak pernah diduga oleh tim kecil ini. Tommy, anggota tim paling muda dengan ceroboh menjatuhkan roti curiannya. Roti itu berceceran di jalan dan ia pun berhenti sesaat sambil menatap roti - roti yang dijatuhkannya. ‘Lari! Tetap berlari!’ Perintah Flarion. Tapi Tommy tidak bergeming bahkan mulai mengumpulkan kembali roti – roti yang tercecer itu sementara para pengejar semakin dekat.
‘Celaka!’ Flarion tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin meninggalkan Tommy di sana, tapi ia juga tahu mereka berdua pasti akan tertangkap jika ia tidak terus berlari. Di antara kebimbangan, Flarion tiba – tiba berhenti dan berbalik. ‘Ini tanggung jawabku!’ Batin Flarion berteriak. Flarion segera menarik tangan Tommy dan berlari bersamanya. ‘Lari! Lari sekarang! Ini perintah, dasar bodoh!’ teriak Flarion kepada Tommy. Tommy tidak sempat membantah karena tepat di belakang Flarion para pengejar sudah berhasil menyusul mereka.
‘Tetap berlari, Tommy!’ seru Flarion yang tiba – tiba melepaskan tangan nya dari Tommy dan berbalik ke belakang. Flarion segera menerjang para pengejar dan menghalangi mereka agar Tommy sempat berlari menjauh. Suara terakhir yang terdengar oleh Flarion adalah derap langkah kaki Tommy yang semakin menjauh sebelum sebuah tongkat kayu menghantam kepalanya dengan keras dan ia pun pingsan.
Gelap sekali ruangan ini. Begitu Gelap dan dingin di penjara Venetta. Jika tidak salah sudah 2 hari Flarion di sana. Kepalanya yang luka belum juga diobati sementara tubuhnya kini juga penuh cambukan dari para penjaga karena ia tidak mau mengatakan di mana teman – temannya bersembunyi. ‘Tim pencuri roti tidak boleh tertangkap,’batin Flarion. Bagaimana nasib gelandangan kecil lain jika tidak ada lagi roti untuk dimakan. Flarion berusaha memejamkan matanya akibat pusing yang tak tertahankan dan darah terus menetes.. tetes demi tetes... Flarion kembali pingsan.
Bab 3. Indahnya pengampunan dan kasih sayang
‘Bau harum apakah ini? Apakah aku sudah berada di surga?’ pikir Flarion,’ Rasanya aku kenal bau ini... yah, ini bau roti bakar!’Flarion segera membuka matanya dan terkejut luar biasa. Sungguh tak dapat dipercaya, ia berada di atas ranjang yang empuk, dalam kamar yang bersih dan disinari matahari pagi... kamar yang bahkan tidak pernah berani diimpikan untuk dimiliki oleh gelandangan manapun seperti dirinya. Flarion lebih tidak percaya lagi, di sebelahnya telah disediakan roti bakar dalam jumlah besar dilapisi selai coklat, keju dan irisan daging juga ada segelas besar susu. ‘Jadi aku benar berada di surga!’ Seru Flarion.
Flarion berusaha untuk bangkit tetapi tubuhnya masih terasa sakit. Ia baru menyadari bahwa pakaian nya telah diganti dan tubuhnya penuh balutan. Flarion sadar bahwa ternyata Ia tidak berada di surga, tapi seseorang telah mengeluarkannya dari penjara dan merawat lukanya. Tapi siapa? Tidak mungkin teman – temannya, Tim Pencuri Roti. Mereka tidak mungkin punya kamar seperti ini. Lalu Ia berada di mana? Tiba – tiba pintu terbuka dan masuklah seorang wanita setengah baya dan seorang koki. Koki?!! Yah, dia itu koki yang selalu memburu Flarion dan teman – teman nya karena mencuri roti di tokonya. Flarion segera menyadari Ia berada di rumah musuh.
‘Kau, Koki Busuk! Apa yang mau kalian lakukan padaku?’ Teriak Flarion.
‘Dasar Anak Kurang Ajar!’ Teriak si koki,’ Jika bukan karena Nyonya kami, kau masih ada di penjara dan membusuk di sana, pencuri laknat!’
Nyonya itu segera memberi tanda kepada kokinya agar diam lalu ia mendekati Flarion dan bertanya dengan lembut,’Apakah luka mu sudah sembuh? Maaf, aku terlambat mengeluarkanmu dari penjara sehingga kau harus disiksa seperti ini. Jika kau butuh sesuatu, katakanlah padaku, aku akan berusaha membantumu.’ Nyonya itu terus berbicara dan menghibur Flarion sementara tangannya sibuk mengganti balutan di tubuh Flarion dan mengobati luka – lukanya. Flarion terus diam dan tidak bisa lagi berpikir. Apa yang telah terjadi? Apakah nyonya ini tidak tahu bahwa dialah yang selama ini telah mencuri roti di tokonya? Lalu kenapa pencuri seperti dirinya malah dibebaskan bahkan dirawat seperti anak sendiri? Apakah ini mimpi? Ini semua tidak masuk akal! Sungguh tidak masuk akal!
‘Kau tidak apa – apa, nak?’ tanya nyonya itu lagi,’Apa kau lapar?’ Nyonya itu segera menyodorkan roti dan susu itu ke hadapan Flarion dan membantunya untuk makan. Flarion tidak bisa berkata kata lagi selain meneteskan air mata. Inikah kasih sayang dan pengampunan? Rasanya lebih indah daripada surga. Sungguh lebih indah...
Bab 4. Tim Toko Roti
Sekarang Flarion dan teman – teman nya tidak lagi menjadi pencuri roti. Ia memutuskan untuk bekerja pada Nyonya pemilik toko roti. Sebagai imbalan nya, mereka mendapat tempat tinggal dan roti untuk makanan mereka juga sedikit uang saku. Flarion bekerja lebih giat daripada yang lain sehingga toko roti itu pun berkembang luar biasa. Roti menjadi sangat digemari di venetta dan setiap hari pesanan roti selalu menumpuk dan tidak jarang mereka harus buka hingga malam hari, terus melayani pelanggan tanpa henti. Sebuah sukses besar bagi Tim Toko Roti.
Namun sukses itu kadang merepotkan juga. Pesanan semakin hari semakin banyak tetapi persediaan bahan baku mereka terbatas. Gandum, bahan dasar roti pun dengan cepat menipis dan tidak bisa memenuhi permintaan semua pelanggan. Tidak sedikit pelanggan yang kecewa dan menjadi kesal karena tidak dapat menikmati roti yang terkenal enak di seluruh Venetta. Sementara Ladang gandum pun tidak bisa lagi menyediakan kebutuhan untuk roti dalam jumlah besar seperti yang diinginkan para pelanggan. Satu – satunya cara adalah membeli gandum dari kota lain.
Leordas, adalah kota perdagangan yang besar, kota dagang terdekat dari Venetta. Di sanalah gandum bisa dibeli dengan harga pasar yang murah. Jarak ke kota Leordas diperkirakan 3 hari 3 malam dengan menunggang kereta kuda. Dan tentu saja yang harus pergi ke sana adalah Flarion, yang kini telah menjadi seorang pemuda kesayangan nyonya. Si Koki dan yang lainnya tetap harus tetap tinggal melayani pelanggan. Flarion adalah pemuda paling kuat untuk mengangkut gandum dibanding yang lain dan paling pandai mengendalikan kereta kuda, sehingga jelas Flarion adalah utusan paling tepat menuju ke Leordas. Maka pagi – pagi benar berangkatlah Flarion ke kota Leordas untuk membeli gandum.
Bab 5. Hancurnya sebuah harapan
Ini adalah hari ke-6 semenjak Flarion meninggalkan Venetta. Seharusnya siang ini ia telah sampai kembali ke rumahnya di Venetta. Tetapi Puluhan karung Gandum telah membuat gerak kereta kuda menjadi lebih lambat. Sepertinya baru esok pagi ia dapat tiba di Venetta. Flarion sudah rindu dengan rumah, roti yang lezat, teman – temannya dan tentu saja Nyonya toko roti yang sudah dianggap ibu kandungnya sendiri. ‘Aku akan segera pulang’, Gumam Flarion.
Flarion semakin mendekat ke kota. Ternyata ia tiba lebih lambat dari dugaan nya semula. Hari mulai menjelang siang dan ia baru tiba di tepi hutan di dekat Venetta. Tepi hutan tempat di mana ia mendirikan markas Tim Pencuri Roti. Kenangan suram yang tidak ingin diingat lagi olehnya. Sekarang ia punya harapan dan masa depan yang indah bersama nyonya dan toko rotinya. Tapi lamunan Flarion segera buyar sama cepat dengan kedatangannya. Asap tebal mengepul di atas kota Venetta. Pasti telah terjadi kebakaran hebat di sana. Flarion segera teringat Nyonya dan teman temannya, rasa kuatir semakin menekan hati kecilnya. Tanpa buang waktu, Flarion memacu kereta kudanya secepat yang ia bisa. Firasatnya mengatakan sesuatu yang sangat buruk telah terjadi di Venetta.
Pintu Gerbang telah hancur dan mayat penjaga kota berserakan. Kota Venetta tidak terbakar tetapi telah dibakar. Siapa yang melakukan ini? Para perampok, monster atau naga? Flarion segera meninggalkan kereta kudanya dan berlari menuju toko roti. Ia berteriak sepanjang jalan dan rasa kuatirnya seperti akan meledak dalam dadanya yang mulai sesak. Seluruh Venetta telah habis dibakar, mayat manusia bergeletakan di mana – mana. Flarion tiba di toko roti. Ia tidak bisa lagi berteriak. Air matanya mengalir deras dan jantung nya terasa berhenti. Di depan toko roti, teman – teman nya digantung di atas balok kayu. Darah mereka yang mulai mengering membanjiri halaman toko roti. Toko Roti hanya tinggal puing – puing bangunan sisa kebakaran. Tidak ada yang tersisa dari sebuah harapan...harapan Flarion.
Flarion seperti orang gila mencari nyonya... Flarion tidak dapat menemukan nyonya... Flarion berlari ke tengah ladang gandum... Flarion melihat sesosok wanita di sana... Flarion jatuh berlutut dan membisu. Air matanya pun tidak bisa lagi mengalir. Dunia nya telah berhenti berputar dan runtuh. Tubuh Sang Nyonya dengan pakaian setengah telanjang dan terkoyak – koyak tergeletak di tengah ladang gandum, terpisah dengan kepalanya yang tergantung di atas sebuah tombak. Flarion segera mengoyakkan pakaian nya sendiri untuk menutupi tubuh nyonya nya dan menurunkan kepalanya. Dengan jari tangannya, ia menggali tanah di ladang gandum dan menguburkan sang nyonya. Ia terus menggali sambil berteriak marah, geram dan sedih becampur menjadi satu.
2 hari lamanya Flarion menggali ladang gandum untuk menguburkan teman teman nya. 2 hari tanpa tidur dan makan. Bahkan beberapa dari antara mayat – mayat itu telah mengeluarkan bau yang tidak sedap. Kota Venetta juga telah berbau busuk. Tapi Flarion tidak lagi peduli. Masa depannya telah lenyap begitu saja. Ia terus bertanya,’ Siapa yang telah melakukan ini?’ Namun tanpa jawaban. Flarion kini sendirian. Sendirian dalam penyesalan dan dendam. Seandainya Ia pulang lebih awal, setidaknya ia masih bisa berusaha menyelamatkan nyonya atau setidak nya mati dalam membela nyonya. Flarion malang tidak berhenti menggali... menggali kubur untuk nyonya dan teman – temannya... untuk keluarga satu – satunya yang pernah ia kenal dan miliki.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar